Lahir dari Rakyat, Untuk Rakyat

Politik Seragam: Jalan Sunyi Menuju Otoritarianisme

dr. Yandra Doni menyampaikan pandangannya dalam Obrolan Gema Kebangsaan di kanal Gema TV, bersama host Joko Kanigoro.

Demokrasi hanya bisa hidup bila ada perbedaan. Namun hari ini, Indonesia semakin terjebak dalam politik seragam. Hampir semua partai politik bergabung dalam barisan kekuasaan, nyaris tanpa oposisi. Apa pun kebijakan pemerintah, rakyat hanya bisa menelan bulat-bulat tanpa alternatif.

“Kalau semua partai politik dalam satu aransemen pandangan yang sama, itu bahaya. Tidak ada kontrol, tidak ada suara tandingan. Rakyat terpaksa menelan apa pun keputusan politik yang seragam itu,” tegas dr. Yandra Doni atau Babeh Doni dalam kanal Gema Kebangsaan


Politik Seragam = Demokrasi Tanpa Rem

Persatuan memang indah, tetapi politik seragam bukan persatuan. Persatuan menghargai perbedaan, sementara keseragaman menolak perbedaan. Tanpa oposisi, demokrasi ibarat mobil tanpa rem: terlihat melaju kencang, tetapi pasti menuju jurang.

Contoh nyata adalah pengesahan UU Cipta Kerja dan revisi KUHP. Meski banyak ditolak publik, keduanya tetap lolos dengan cepat. Fenomena politik seragam membuat parlemen kehilangan fungsi kontrol, berubah hanya menjadi pemberi stempel kebijakan eksekutif.

“Ketika eksekutif dan legislatif jadi satu, yudikatif ikut lumpuh. Pada titik itu, politik seragam menjelma jadi otoriter. Rakyat kehilangan kreativitas, inovasi, bahkan ruang kontrol terhadap penguasa,” lanjut Babeh Doni


Sejarah Mengingatkan: Dari Sukarno, Soeharto, hingga Kini

Indonesia sudah punya pengalaman pahit. Sukarno mendeklarasikan diri sebagai presiden seumur hidup. Soeharto berkuasa 32 tahun dengan politik satu warna. Keduanya tumbang dengan cara sama: rakyat muak pada kekuasaan tanpa batas.

Kini, pola lama kembali muncul. Oposisi nyaris nihil, semua partai mencari kursi di lingkar kekuasaan. Demokrasi hanya tinggal prosedur, sementara substansinya berubah menjadi tirani modern—otoritarianisme dengan wajah demokrasi.


Akar Masalah: Pendidikan Rapuh, Mental Korup

Masalah bangsa tidak berhenti pada politik seragam. Dua akar terdalam adalah pendidikan yang rapuh dan mental korup yang kian merajalela.

“Kita tidak pernah serius membangun pendidikan, baik sains maupun akhlak. Ditambah mental korup yang makin tinggi. Dulu korupsi miliaran sudah dianggap besar, sekarang triliunan pun terasa biasa,” ujar Babeh Doni

Data APBN memperkuat kritik ini: belanja aparatur mencapai 65–70%, sedangkan belanja publik hanya sekitar 30%. Akibatnya, pembangunan sekolah, jalan, hingga lapangan kerja kekurangan anggaran. Rakyat terbebani, sementara aparatur justru hidup dari pajak yang dibayar publik.


Harapan: Oposisi Publik dan Reformasi Politik

Jika partai politik memilih diam, publik harus mengambil peran sebagai oposisi moral. Akademisi, jurnalis, mahasiswa, dan masyarakat sipil harus lebih berani bersuara. Media sosial pun harus digunakan bukan hanya untuk hiburan, tetapi untuk mengawasi kebijakan publik.

Selain itu, partai politik perlu direformasi: kaderisasi diperkuat, feodalisme dihentikan, dan desentralisasi politik dijalankan. Tanpa perubahan ini, partai hanya akan menjadi kendaraan elit, bukan alat perjuangan rakyat.


Politik Seragam Menuju Otoritarianisme

Politik seragam memang tampak stabil, tetapi sejatinya berbahaya. Demokrasi bukan tentang semua setuju, melainkan tentang adanya ruang berbeda yang dijaga.

Seperti diingatkan Babeh Doni: “Kalau semua partai politik seragam, rakyat hanya bisa makan apa yang disajikan. Tidak ada pilihan lain. Itu bahaya.”

Kini, bangsa ini menghadapi pilihan besar: berani menjaga perbedaan, atau pasrah berjalan di jalan sunyi menuju otoritarianisme.

1 thought on “Politik Seragam: Jalan Sunyi Menuju Otoritarianisme”

  1. Pingback: Dari Sungai Kecil Sumba, Lahir Cahaya Besar - gerakanmandiri.com

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top
Lahir dari Rakyat, Untuk Rakyat
0

Subtotal