
Demokrasi di Indonesia sering disebut sebagai demokrasi terbesar ketiga di dunia. Namun, pertanyaan penting yang patut kita renungkan adalah: apakah demokrasi kita sudah benar-benar membumi, atau masih sebatas prosedural dan elitis?
Di tengah hiruk pikuk politik nasional, suara daerah sering kali tenggelam. Keputusan politik terpusat di Jakarta, sementara rakyat di pelosok Nusantara hanya menjadi penonton. Padahal, bukankah esensi demokrasi adalah partisipasi rakyat dari bawah, bukan sekadar legitimasi dari atas?
Demokrasi yang Terjebak di Pusat
Ketua DPW Partai Gema Bangsa Sumatera Utara, Ary Oskandar, dengan tajam menyoroti persoalan ini. Menurutnya, selama ini demokrasi di Indonesia masih berjalan sebatas ritual elektoral. Pemilu memang rutin digelar, tetapi partisipasi politik rakyat di daerah belum terwadahi dengan baik.
Kita perlu bertanya: apakah cukup hanya dengan pemilu lima tahunan untuk menyebut diri sebagai negara demokratis?
Ary menegaskan bahwa desentralisasi politik adalah jawaban. Dengan membuka ruang partisipasi lebih luas di daerah, rakyat tidak hanya menjadi objek kebijakan, tetapi juga subjek yang menentukan arah pembangunan.
Belajar dari Daerah, Belajar dari Dunia
Sejumlah daerah di Indonesia sebenarnya telah membuktikan bahwa desentralisasi melahirkan inovasi. Jawa Barat sukses dengan program Desa Digital yang menghubungkan masyarakat pedesaan dengan dunia modern. Surabaya menunjukkan bagaimana transparansi dan akuntabilitas bisa dikelola dengan baik oleh pemerintah daerah.
Contoh-contoh ini membuktikan bahwa jika diberi ruang, daerah mampu melahirkan solusi kreatif sesuai dengan kebutuhan lokal. Pertanyaannya: mengapa keberhasilan ini tidak kita replikasi secara nasional melalui sistem politik yang lebih desentralistik?
Pengalaman internasional juga sejalan dengan itu. India dengan panchayat system dan Brasil dengan participatory budgeting membuktikan bahwa demokrasi akar rumput lebih tahan lama dibandingkan demokrasi yang dikendalikan elite. Jika negara lain bisa, apakah Indonesia tidak mampu?
Menjawab Tantangan, Bukan Menghindarinya
Sering kali, desentralisasi dipandang rawan karena ada kepala daerah yang terjerat korupsi. Namun, apakah korupsi hanya terjadi di daerah? Bukankah pusat juga tak bebas dari praktik serupa?
Korupsi bukan alasan untuk mematikan otonomi, melainkan alasan untuk memperkuat pengawasan. Desentralisasi justru memberi kesempatan bagi rakyat di daerah untuk ikut mengawasi dan mengoreksi jalannya pemerintahan.
Dengan kata lain, risiko desentralisasi bukan alasan untuk menolaknya, melainkan tantangan yang harus dijawab dengan kapasitas, transparansi, dan integritas.
Gema Bangsa dan Demokrasi Akar Rumput
Partai Gema Bangsa hadir dengan keyakinan bahwa politik sejati harus dimulai dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Seperti disampaikan Ary Oskandar, desentralisasi politik bukan hanya soal membagi kewenangan, tetapi juga soal mengembalikan marwah demokrasi ke akar rumput.
Inilah visi politik baru: membangun Indonesia yang adil, inklusif, dan berdaya saing melalui kekuatan daerah. Bagi Gema Bangsa, memperjuangkan desentralisasi berarti memperjuangkan kedaulatan rakyat di seluruh pelosok negeri, bukan hanya di pusat kekuasaan.
Saatnya Indonesia Memilih
Kini pilihan ada di tangan kita. Apakah kita akan terus membiarkan demokrasi menjadi sekadar ritual prosedural, atau berani memperjuangkan demokrasi akar rumput yang membumi?
Sejarah akan mencatat pilihan kita. Dan Partai Gema Bangsa dengan tegas memilih jalan desentralisasi politik sebagai pilar demokrasi Indonesia masa depan.
Mari bersama-sama memperkuat demokrasi dari akar rumput, demi Indonesia yang lebih adil, berdaulat, dan benar-benar demokratis.
