
Reformasi: Sukses di Struktur, Gagal di Kultur
Reformasi 1998 memang membuka ruang demokrasi baru, tetapi partai politik di Indonesia masih belum berubah secara mendasar. Partai yang seharusnya menjadi jantung demokrasi justru kerap dikelola layaknya perusahaan keluarga: elitis, tertutup, dan minim regenerasi. Fenomena ini menunjukkan bahwa meski struktur demokrasi terbentuk, kultur politik kita masih oligarkis dan jauh dari harapan rakyat.
Partai Politik = Perusahaan Keluarga
Fenomena paling kasat mata: banyak partai politik dikelola bak perusahaan keluarga. Ketua umum diposisikan layaknya pemilik tunggal yang berhak menentukan semua keputusan strategis.
Dalam Obrolan Gema Kebangsaan di kanal Gema TV, Wakil Ketua Umum Partai Gema Bangsa, Abdul Kholiq Ahmad, melontarkan kritik tajam:
“Banyak tokoh partai suka makan kepala—kepala ikan, kepala ayam, kepala kambing. Katanya, yang paling enak itu kepala. Rupanya, kepala negara dan kepala partai pun dianggap paling enak untuk dikuasai.”
Sindiran ini menyingkap kenyataan bahwa kursi ketua umum sering dianggap hak seumur hidup. Padahal, presiden dibatasi maksimal dua periode, sementara ketua umum partai bisa duduk puluhan tahun tanpa regenerasi.
Dari KKN Terpusat ke KKN Tersebar
Reformasi diharapkan menghapus praktik KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme). Faktanya, KKN justru menyebar. Jika pada masa Orde Baru terkonsentrasi di lingkar Soeharto, pasca reformasi praktik itu merambah pusat hingga daerah.
Data Indonesia Corruption Watch (ICW), 2023 mencatat bahwa mayoritas kasus korupsi justru terjadi di tingkat pemerintah daerah. Fakta ini memperkuat analisis Abdul Kholiq: prosedur demokrasi memang berjalan, tetapi budaya politik masih terjebak oligarki dan transaksi kekuasaan.
Solusi: Partai Harus “Go Publik”
Menurut Abdul Kholiq, jalan keluar dari kebuntuan ini adalah menjadikan partai politik sebagai institusi yang “GO PUBLIK”.
Prinsipnya:
Kepemilikan kolektif → partai bukan milik pribadi, melainkan wadah rakyat.
Transparansi finansial → publik tahu siapa penyandang dana partai.
Pembatasan kepemimpinan → seperti presiden, ketua umum seharusnya dibatasi periodenya.
Crowdfunding politik → rakyat ikut membiayai partai, bukan oligark.
Risiko tentu ada, misalnya pemodal besar membeli “saham politik”. Namun hal ini bisa diatasi dengan pembatasan sumbangan, audit independen, dan pengawasan publik.
Belajar dari Negara Lain
Praktik “PARTAI GO PUBLIK” bukan hal baru. Di Jerman, partai seperti SPD atau CDU memiliki sistem keanggotaan yang kuat sehingga keputusan lahir dari kongres anggota, bukan satu figur. Di Amerika Latin, beberapa partai menerapkan crowdfunding politik untuk mengurangi ketergantungan pada donatur besar.
Indonesia bisa belajar dari praktik ini, dengan penyesuaian pada kultur lokal.
Desentralisasi Politik: Menghindari Raja Kecil
Partai Gema Bangsa menawarkan konsep desentralisasi politik: musyawarah daerah otentik tanpa intervensi pusat, tokoh lokal diberi ruang, dan rakyat punya hak inisiatif.
Apakah tidak berisiko melahirkan “raja-raja kecil”? Risiko itu ada. Karena itu desentralisasi harus diimbangi dengan:
Rotasi kepemimpinan,
Transparansi internal,
Pendidikan politik berkelanjutan.
Dengan demikian, demokrasi tidak hanya berhenti di Jakarta, tetapi juga hidup di desa dan kabupaten.
Agenda Kemandirian: Beda dari Janji Kosong
Banyak partai menjanjikan kemandirian, tetapi berhenti di slogan. Abdul Kholiq menawarkan 12 agenda kemandirian: politik, ekonomi, budaya, sosial, hukum, pendidikan, kesehatan, pangan, energi, ekologi, teknologi, dan digital.
Agenda ini dijalankan sebagai kerja harian, bukan sekadar janji kampanye. Contoh: membentuk koperasi UMKM, organ komunitas budaya, hingga platform digital. Dengan begitu, partai politik hadir di tengah rakyat, bukan hanya saat pemilu.
Kritik & Realitas Politik
Sebagian pihak mungkin menilai gagasan ini terlalu idealis. Kritik itu wajar. Namun langkah awal sudah ada: Partai Gema Bangsa mulai membentuk organ komunitas (budaya, UMKM, pemuda) yang aktif bahkan di luar momentum elektoral.
Apakah realitas politik yang pragmatis akan menguji gagasan ini? Tentu. Tetapi demokrasi justru diuji ketika partai politik berani keluar dari pola lama dan menolak tunduk pada arus oligarki.
Demokrasi Bukan Bisnis Elite
Apakah kita rela partai politik terus menjadi milik segelintir elite, sementara rakyat hanya penonton? Demokrasi sejati hanya lahir ketika partai politik berani go publik—membatasi kekuasaan elite, membuka kepemilikan kolektif, dan memberi ruang bagi inisiatif rakyat.
Saatnya menutup era partai politik yang berfungsi seperti perusahaan keluarga. Indonesia membutuhkan partai politik yang transparan, demokratis, dan benar-benar menjadi rumah besar rakyat, bukan milik pribadi atau dinasti.
Pingback: Ibrahim Traoré: Perlawanan Burkina Faso yg Menginspirasi Dunia