Politik kita sering terasa gersang. Kursi diperebutkan, jargon diproduksi, baliho dipajang, tapi rakyat tetap merasa asing. Seniman pun hanya dipanggil lima tahun sekali untuk menghibur panggung kampanye, lalu ditinggalkan.
Inilah yang ditolak Partai Gema Bangsa. Bagi partai ini, politik bukan sekadar soal kursi, melainkan soal jiwa bangsa. Tanpa budaya, politik hanyalah mesin kering. Tanpa politik, kebudayaan hanyalah nostalgia. Maka keduanya harus dipertemukan kembali.
Pesan itu mengalir dalam Podcast Gema Kebangsaan di kanal YouTube Partai Gema Bangsa Official, dipandu Mira Pane dan Buddy Ace. Narasumbernya, pasangan seniman Ronni Waluya dan Sarah Hadju, bicara apa adanya: sudah cukup seniman dijadikan pelengkap pesta demokrasi.
Seniman: Lebih dari Sekadar Penghibur
Ronni jujur, kadang muak dengan cara partai memperlakukan seniman.
“Hubungannya transaksional. Padahal negara ini butuh bukan cuma suara seniman, tapi juga pikirannya,” tegasnya.
Sarah pun menambahkan, seniman juga punya peran mendidik publik. Ia rutin membaca dan berbagi literasi lewat media sosial.
“Kalau rakyat malas membaca, mereka mudah diarahkan. Seniman harus ikut menyalakan kesadaran,” katanya.
Pesan keduanya menampar realitas lama: seniman bukan badut politik, melainkan suara kebijaksanaan rakyat.
Gema Bangsa dan Jalan Budaya dalam Politik
Selama ini, partai sibuk dengan program dari atas ke bawah, jarang sekali bertanya pada rakyat: apa kebutuhanmu?
Gema Bangsa memilih jalur lain. Melalui Gemantra (Gema Kebudayaan Nusantara), partai ini menjadikan seni dan tradisi bukan sekadar dekorasi, melainkan bahasa politik.
Program Gema Cipta Lagu adalah contohnya. Bukannya menyerahkan pada segelintir elit, Gema Bangsa membuka ruang rakyat ikut menciptakan mars dan himne partai. Identitas politik lahir dari karya bersama, bukan keputusan rapat terbatas.
Ini bukan sekadar lomba musik. Ini simbol bahwa partai bisa lahir dari rakyat, bukan rakyat yang dipaksa lahir dari partai.
Dari Aspirasi, Bukan Slogan
Ronni merumuskannya sederhana tapi dalam:
“Kalau kebutuhan terpenuhi, masyarakat pasti datang sendiri tanpa perlu diminta.”
Inilah inti politik berbasis budaya: partai hadir dulu, memenuhi kebutuhan nyata, baru kemudian rakyat percaya. Tanpa itu, semua slogan hanya bunyi kosong.
Harapan Baru untuk Indonesia
Indonesia kaya dengan ribuan tradisi, seni, dan ekspresi. Tapi politik selama ini hanya memajang simbol yang sama berulang-ulang. Gema Bangsa ingin mengakhiri pola itu.
Paradigma harus dibalik: bukan rakyat yang mengejar partai, melainkan partai yang membuktikan dirinya layak dikejar rakyat. Di sinilah budaya menjadi energi politik yang hidup, bukan sekadar gimmick lima tahunan.
Jalan Baru
Politik yang tercerabut dari akar budaya hanyalah perebutan kekuasaan tanpa jiwa. Kebudayaan yang tak masuk politik hanyalah wacana tanpa daya.
Partai Gema Bangsa mencoba menghidupkan kembali pertemuan keduanya. Bersama seniman seperti Ronni Waluya dan Sarah Hadju, partai ini ingin menulis bab baru: politik yang berpihak pada rakyat, berakar pada budaya, dan bernyanyi untuk masa depan bangsa.