
Sekjen Partai Gema Bangsa
Perjalanan Hidup dan Tekad Politik Muhammad Sopiyan
Di balik sikapnya yang tenang dan tutur kata yang rapi, Muhammad Sopiyan menyimpan kisah jatuh-bangun dan ujian hidup yang nyaris mematikan. Ia pernah berdiri di tepi jurang harapan setelah divonis sakit berat dan hampir menyerah. Namun, dari titik itu ia bangkit membawa semangat baru. Ia membangun kekuatan politik dari bawah dan menyalakan keyakinan bahwa perubahan sejati lahir ketika rakyat diberi ruang untuk memimpin.
Muhammad Sopiyan percaya bahwa ketenangan dan strategi matang seringkali lahir dari perjalanan hidup yang penuh tempaan. Lahir di Bogor pada 2 Juli 1982, ia dibesarkan dalam lingkungan yang akrab dengan nilai-nilai Islam, kedisiplinan, dan pengabdian. Sejak kecil, ia sudah belajar bahwa hidup bukan hanya tentang mencari tempat untuk diri sendiri, tetapi juga memberi manfaat bagi orang lain.
Pendidikan dan Aktivisme
Langkah pendidikannya dimulai dari MI Mathla’ul Anwar Bantarsari, kemudian MTsN Cilendek, dan MA Daarussalaam Parung. Kecintaannya pada ilmu membawanya ke Universitas Muhammadiyah Jakarta untuk meraih gelar sarjana. Selanjutnya, ia melanjutkan studi magister di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan menuntaskan doktoralnya di UIN Sunan Gunung Djati Bandung dengan fokus pada Hukum Keluarga Islam.
Di dunia aktivisme, Sopiyan tumbuh bersama Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dari tingkat komisariat hingga nasional. Selain itu, ia juga aktif di Muhammadiyah dan pernah menjabat Ketua Bidang Organisasi DPP Partai Perindo. Dalam dunia akademik, ia mengabdikan hampir dua puluh tahun sebagai dosen di Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Ujian Berat dan Kebangkitan
Hidup mengajarkan bahwa ujian bisa datang kapan saja. Pada tahun 2024, di tengah kesibukan politik, ia divonis gagal ginjal stadium 4 dengan kreatinin 7,9. Dokter menyarankan cuci darah seumur hidup. Di saat fisik lemah dan hati guncang, ia menggantungkan harapannya hanya kepada Allah.
Kemudian, ia mencoba pengobatan alternatif di Purwakarta. Atas izin Allah, hasilnya di luar dugaan: kreatininnya turun menjadi 2,5. “Ini bukti kasih sayang Allah,” ucapnya mengenang momen itu. Sejak saat itu, ia meninggalkan rokok, menghindari daging, dan lebih menjaga kesehatan sebagai wujud syukur atas nikmat kehidupan.
Kiprah Politik dan Kepemimpinan di Partai Gema Bangsa
Pada 20 Februari 2025, Sopiyan resmi dilantik sebagai Sekretaris Jenderal DPP Partai Gema Bangsa. Keputusan ini bukan sekadar pergantian jalur politik, melainkan tekad membangun partai yang bebas dari tekanan oligarki dan sentralisme berlebihan. Baginya, partai politik harus dibangun dari bawah (bottom-up), dengan daerah sebagai pusat kekuatan dan memberi ruang bagi kader di lapangan menentukan langkahnya sendiri.
Bersama Ketua Umum Ahmad Rofiq, ia bergerak cepat. Hanya sebulan setelah pelantikan, pada 26 Maret 2025, Gema Bangsa memperoleh SK Badan Hukum dari Kementerian Hukum dan HAM. Tak lama kemudian, pada 26 Juni 2025, ia memimpin delegasi DPP dalam audiensi dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI. Di sana, ia menyampaikan gagasan desentralisasi politik sebagai jalan menuju demokrasi yang lebih sehat.
Visi Politik dan Komitmen Organisasi
Pengalaman panjangnya membangun kekuatan politik dari awal membuatnya yakin bahwa politik bukan sekadar perebutan kursi. Sebaliknya, politik adalah ruang gagasan dan pengabdian. Ia percaya ketika rakyat diberi ruang berinisiatif, lahirlah kekuatan yang tidak bisa dibeli dengan uang.
Sebagai Sekjen, Sopiyan menjaga ritme organisasi dengan memastikan konsolidasi dan kaderisasi berjalan konsisten. Salah satu langkah uniknya adalah mendukung kursus politik terbuka di Sulawesi Tengah—program yang ia sebut sebagai “inspirasi nasional” karena mengajak masyarakat belajar politik langsung di alam terbuka, tanpa sekat.
Kehidupan Pribadi dan Nilai-nilai Spiritual
Di luar panggung politik, Sopiyan adalah suami dari Rosmalia Sagita dan ayah dari tiga putri: Tazkia Zahra, Syifa Husnia, dan Athifah Faqihatunnisa. Baginya, keluarga adalah tempat pulang dan nilai-nilai spiritual adalah kompas yang selalu menuntun langkahnya.
Dari keluargalah, ia belajar kesabaran. Sementara itu, dari rakyat ia belajar arti pengabdian. Hidupnya adalah pengingat bahwa kekuatan sejati tidak selalu datang dari harta atau jabatan, tetapi dari keyakinan, kesungguhan, dan keberanian melangkah di jalan yang diyakini benar.