Bangkit Bersama, Bergerak Mandiri

Pemisahan Pemilu dan Jalan Reformasi: Membaca Putusan MK Bersama Perludem

JAKARTA — Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXI/2023 yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu daerah menjadi titik balik dalam desain demokrasi elektoral Indonesia. Dalam forum diskusi politik yang digelar Partai Gema Bangsa pada Rabu (16/7/2025), Direktur Eksekutif Perludem, Khoirunnisa N. Agustyati, menyampaikan pandangan reflektif mengenai aspek hukum dan implikasi desain pemilu ke depan.

aaaa

Diskusi bertajuk “Keputusan MK Soal Pemilu Nasional dan Lokal: Tantangan Hukum dan Politik Bagi Partai” ini juga menghadirkan Dr. Heri Budianto, M.Si, Wakil Ketua Umum DPP Gema Bangsa, serta dipandu oleh dr. Yandra Doni, Ketua Bidang Politik DPP Gema Bangsa.

Pemisahan Pemilu: Koreksi Sistemik, Bukan Sekadar Teknis

Dalam pemaparannya, Khoirunnisa—akrab disapa Mbak Ninis—menegaskan bahwa pemisahan pemilu bukan sekadar soal jadwal atau teknis penyelenggaraan, melainkan koreksi terhadap sistem yang selama ini menumpuk beban pada pemilih dan penyelenggara.

“Kami sudah mengkaji ini sejak 2011. Pemilu serentak lima kotak terbukti tidak efektif. Lebih dari 800 petugas KPPS meninggal karena kelelahan, dan 17 juta suara tidak sah pada 2019. Itu bukan angka kecil,” ujarnya.

Ia menekankan bahwa pemilih selama ini tidak memiliki cukup ruang untuk mengenali calon legislatif, terutama di tingkat daerah. Fokus publik tersedot ke Pilpres, sementara pemilihan DPRD dan kepala daerah nyaris menjadi formalitas.

Aspek Hukum dan Risiko Kebuntuan Konstitusional

Khoirunnisa menjelaskan bahwa meskipun putusan MK bersifat final dan mengikat, implementasinya tidak bisa berdiri sendiri. Diperlukan revisi terhadap UU Pemilu dan UU Pilkada untuk menyesuaikan masa jabatan dan jadwal baru agar tidak terjadi kekosongan hukum.

“Kalau tidak ditindaklanjuti lewat legislasi, kita bisa masuk ke situasi constitutional deadlock. Ini bukan hanya soal teknis, tapi soal keberlanjutan sistem demokrasi,” tegasnya.

Ia juga menyoroti perbedaan sikap antara MK dan mayoritas fraksi di DPR yang masih menginginkan pemilu tetap serentak. Menurutnya, inilah pentingnya partisipasi publik dan dorongan dari partai politik alternatif seperti Gema Bangsa untuk menjaga arah reformasi.

 Implikasi Desain Pemilu dan Peluang Midterm Election

Perludem mengusulkan agar pemilu dipisah menjadi dua: pemilu nasional (Presiden, DPR, DPD) dan pemilu daerah (kepala daerah dan DPRD). Desain ini diyakini dapat mengurangi beban pemilih dan penyelenggara, serta memberi ruang bagi kaderisasi dan pelembagaan partai secara berkelanjutan.

“Kita bisa belajar dari Filipina yang punya midterm election. Rakyat diberi kesempatan mengevaluasi kinerja pemerintahan sebelum masa jabatan berakhir. Ini bukan hanya efisien, tapi juga sehat secara demokratis,” jelas Ninis.

Ia juga menolak narasi bahwa pilkada langsung mahal dan harus dikembalikan ke DPRD. Menurutnya, yang mahal adalah praktik politik uang dan mahar, bukan mekanisme langsungnya.

“Solusinya adalah penegakan hukum, bukan mencabut hak pilih rakyat,” tegasnya.

Diskusi ini dihadiri oleh pengurus DPP dan DPW Partai Gema Bangsa dari berbagai wilayah. Forum ini menjadi ruang refleksi bersama untuk menata ulang sistem pemilu Indonesia agar lebih adil, partisipatif, dan konstitusional.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top
Bangkit Bersama, Bergerak Mandiri