
Babeh Doni Buka Angka yang Jarang Terungkap
Dalam salah satu episode Obrolan Gema Kebangsaan di kanal Gema TV, Babeh Doni—sapaan akrab dr. Yandra Doni, Ketua Bidang Politik Partai Gema Bangsa—berdialog dengan host Joko Kanigoro membahas satu isu yang jarang disentuh, tetapi sangat menentukan masa depan rakyat: ke mana sesungguhnya mengalir uang negara yang kita kumpulkan dari pajak dan berbagai sumber pendapatan?
Di tengah obrolan yang mengalir santai, Babeh membeberkan fakta yang membuat dahi berkerut: sekitar 70% APBN/APBD habis untuk membiayai aparatur negara, sedangkan porsi yang benar-benar kembali ke rakyat melalui pembangunan hanya sekitar 30%. Lebih ironis lagi, sebagian dari 30% itu pun kerap “bocor halus” sebelum sampai ke tujuan.
Aparatur Kenyang, Rakyat Puasa
Belanja aparatur mencakup gaji, tunjangan, fasilitas, perjalanan dinas, rapat-rapat di hotel, hingga pembelian kendaraan dinas. Semua ini dibiayai dari uang rakyat. Namun, rakyat yang seharusnya mendapat pelayanan justru harus puas dengan jatah pembangunan yang minim.
Babeh mengajak membandingkan dengan negara-negara maju, di mana porsi belanja aparatur hanya 20–30%, sisanya dialokasikan untuk membangun infrastruktur publik—mulai dari jalan, sekolah, rumah sakit, hingga irigasi pertanian.
“Makanya di sana pengangguran rendah, ekonomi bergerak, rakyat makmur. Kita? Ya sibuk gaji pegawai,” ujarnya sambil geleng-geleng kepala.
Pembangunan yang Tersedak Birokrasi
Porsi anggaran yang timpang ini, kata Babeh, berdampak langsung pada kehidupan rakyat. Belanja publik yang kecil membuat daya serap tenaga kerja rendah. Jalan cepat rusak, sekolah terbengkalai, puskesmas kekurangan fasilitas.
“Kalau belanja publik diperbesar, kita bisa bikin proyek padat karya, serap jutaan tenaga kerja. Pengangguran turun, daya beli naik. Tapi selama 70% tersedot untuk aparatur, ya kita akan jalan di tempat,” tegasnya.
Ini Soal Keberpihakan, Bukan Sekadar Excel
Bagi Babeh, masalah ini bukan cuma urusan angka di lembar kerja. Ini soal arah keberpihakan negara.
Kalau prioritasnya tetap “pegawai dulu, rakyat belakangan”, jurang ketimpangan akan terus melebar. Rakyat akan makin bergantung pada bantuan sosial, sementara ekonomi produktif tidak berkembang.
“Bansos boleh ada, tapi jangan sampai jadi candu. Yang kita butuhkan adalah pekerjaan, bukan sekadar bantuan,” pesannya.
Solusi Babeh: Balik Rumus Anggaran
Babeh menawarkan solusi sederhana tapi tegas: balik porsi anggaran. Belanja publik minimal 60%, belanja aparatur maksimal 40%.
“Kalau kita berani mulai, 5–10 tahun ke depan kita bisa lihat perubahan besar. Negara ini akan lebih efisien, dan rakyat akan lebih sejahtera,” ujarnya penuh keyakinan.
Ia sadar, langkah ini tidak bisa instan. Tapi jika ada roadmap yang jelas dan komitmen politik yang kuat, perubahan besar ini bukan hal mustahil.
Jangan Tunggu Negara Bangkrut
Setiap tahun APBN/APBD dibahas, tetapi esensi jarang disentuh: anggaran adalah cermin keberpihakan. Saat ini, cermin itu memantulkan wajah yang keliru.
Babeh menutup pernyataannya dengan kalimat yang menohok:
“Jangan tunggu negara bangkrut dulu baru sadar. Mari ubah cara kita mengatur uang rakyat, sebelum uang rakyat habis untuk mengatur kita.”
Redaksi Gema Bangsa menilai, gagasan yang disampaikan Babeh Doni bukan sekadar kritik, melainkan ajakan untuk bertindak. Mengatur uang negara bukan hanya soal teknis, melainkan persoalan moral, pilihan politik, dan masa depan bangsa. Pada akhirnya, uang rakyat harus kembali untuk rakyat—bukan untuk mengenyangkan birokrasi yang makin gemuk.