Lahir dari Rakyat, Untuk Rakyat

Politik Sebagai Jalan Pengabdian

obor

Di Hang Jebat, lilin yang dinyalakan bukan hanya untuk merayakan ulang tahun Kawan Ketum Ahmad Rofiq. Lilin itu menjadi simbol perlawanan: di tengah gelapnya politik transaksional, masih ada cahaya yang menyala dari bawah—dari rakyat, untuk rakyat.

Momen syukuran ini bukanlah sekadar pesta, melainkan jeda untuk refleksi kolektif. Acara ini mengingatkan kita bahwa politik, jika dijalankan dengan keberanian dan kesetiaan pada nilai, masih bisa menjadi jalan pengabdian sejati.

Politik yang Tumbuh dari Jalanan, Bukan Transaksi

Gerakan ini tidak lahir dari ruang kekuasaan, tetapi dari jalanan, diskusi terbuka, dan organisasi masyarakat. Dari ruang-ruang itu tumbuh kesadaran bahwa demokrasi sejati tidak cukup hanya memberi hak memilih, tetapi juga membuka ruang untuk memimpin. Gema Bangsa hadir sebagai jawaban atas politik transaksional yang menjauhkan rakyat dari proses pengambilan keputusan.

Menolak Feodalisme, Menantang Politik Transaksional

Di saat banyak partai sibuk menghitung kursi dan koalisi, Gema Bangsa menawarkan budaya politik yang berbeda. Sapaan “kawan” bukan basa-basi, melainkan filosofi. Ia menolak feodalisme politik dan menegaskan bahwa semua orang berdiri sejajar, bahkan dengan ketua sekalipun. Ini adalah bentuk penolakan terhadap politik transaksional yang sering kali menempatkan kekuasaan di atas partisipasi.

Desain organisasinya pun tak lazim. Masa jabatan pengurus daerah ditetapkan hingga 10 tahun, bukan untuk melanggengkan posisi, tetapi untuk memberi stabilitas bagi pejuang akar rumput. Seperti dikatakan salah satu pengurus, “Loyalitas tumbuh bukan dari janji jabatan, tapi dari arah perjuangan yang jelas.”

 

Politik Transaksional dan Krisis Kepercayaan Publik

Survei Indikator Politik Indonesia (2024) menunjukkan kepercayaan publik terhadap partai politik hanya sekitar 48 persen—terendah dibanding lembaga lain. Politik transaksional menjadi salah satu penyebab utama apatisme ini. Ketika partai hanya hadir menjelang pemilu, rakyat merasa ditinggalkan.

Gema Bangsa mencoba menjadi alternatif. Gerakan ini tidak menunggu momentum elektoral untuk hadir. Di berbagai daerah, mereka telah melakukan penanaman pohon, advokasi kebijakan lokal, dan membuka forum diskusi politik yang inklusif. Politik ditarik kembali ke fungsi aslinya: membangun kesadaran bersama.

 

Obor Kolektif: Melampaui Figur, Menyalakan Harapan

Syukuran di Hangjebat bukan sekadar makan bersama. Ia adalah penanda bahwa politik Indonesia masih punya harapan. Harapan itu tidak bertumpu pada satu tokoh, melainkan pada gerakan kolektif yang dijaga bersama. Lilin yang menyala bukan simbol personal, melainkan obor perjuangan yang dititipkan kepada semua kawan.

Obor ini mengingatkan kita bahwa politik bukan panggung pertunjukan, melainkan panggilan. Bukan alat kekuasaan, melainkan jalan pengabdian. Dan di tengah gelapnya politik transaksional, obor rakyat tetap menyala.

2 thoughts on “Politik Sebagai Jalan Pengabdian”

    1. Betul banget! Semangat dari akar rumput itu kekuatan sejati bangsa. Gema Bangsa hadir untuk jadi wadah perjuangan rakyat, dari rakyat, dan untuk rakyat. Kita percaya perubahan besar dimulai dari gerakan kecil yang tulus. Yuk, terus bergema bareng!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top
Lahir dari Rakyat, Untuk Rakyat
0

Subtotal