Ada sesuatu yang berbeda di Hotel Emerald, Medan, Sabtu, 4 Oktober 2025. Bukan sekadar ruangan ber-AC dengan spanduk besar dan sambutan pejabat. Sore itu, terasa getar yang lain — semacam letupan kesadaran politik. Partai Gema Bangsa Sumatera Utara resmi dideklarasikan. Dan yang lahir di sana bukan cuma struktur partai, tapi sebuah gerakan yang ingin menyalakan politik baru dari akar rakyat.
Mengusung tema “Indonesia Mandiri, Indonesia Reborn, Desentralisasi Politik”, suasana terasa hidup dan hangat. Para kader dari 33 kabupaten/kota datang bukan karena instruksi, tapi karena keyakinan: politik bisa dijalankan dengan cara yang lebih bermartabat, lebih rakyat, lebih jujur.
Ketua Umum Kawan Ahmad Rofiq hadir langsung melantik Kawan Ary Oskandar sebagai Ketua DPW Sumut. Ia juga menyerahkan pataka kepada perwakilan 33 kabupaten/kota — simbol bahwa gerakan ini berakar, menyebar, dan menggema dari daerah.
“Kami tidak sekadar ingin ikut meramaikan panggung politik, tapi ingin mengubah maknanya,” ujar Kawan Ary Oskandar dalam pidatonya yang disambut tepuk tangan panjang.
“Kami berkomitmen memperbaiki pelayanan publik, dan memastikan rakyat benar-benar merasakan hasil pembangunan.”
Politik dari Bawah, Bukan dari Menara
Gema Bangsa lahir pada 17 Januari 2025, dari rasa muak yang menumpuk: politik telah terlalu lama dikuasai segelintir elite yang lupa siapa pemilik negeri ini. Partai ini tidak lahir dari ruang pendingin kekuasaan, tapi dari ruang-ruang obrolan rakyat — dari warung kopi, dari kampus, dari sawah dan jalanan, dari mereka yang percaya bahwa politik harus kembali ke tangan rakyat.
Nama Gema Bangsa bukan sekadar label, tapi panggilan jiwa. Ia adalah gema suara rakyat yang lama terpendam dan kini mulai bergelora. Kawan Ketum Rofiq bersama para pendiri partai membangun fondasi Gema Bangsa di atas tiga sikap: menolak politik mahar, menolak oligarki, dan menolak sentralisasi.
Dalam Gema Bangsa, setiap kader punya hak bersuara. Setiap daerah punya ruang menentukan arah. Yang jadi bahan bakar bukan uang, tapi gotong royong dan keyakinan.
Di tengah politik yang makin transaksional, Gema Bangsa memilih jalan sunyi: membangun partai dari bawah, dari kesadaran, dari hati rakyat. Karena bagi mereka, politik bukan soal kursi, tapi soal kehormatan.
Sumatera Utara: Dari Konsolidasi Menuju Gerakan
Deklarasi di Medan bukan sekadar seremoni. Ia adalah titik nyala sebuah gelombang baru. Sumatera Utara, tanah yang dikenal keras tapi berjiwa rakyat, menjadi ruang pertama di mana ide desentralisasi politik benar-benar diuji.
Kawan Ahmad Rofiq menegaskan keyakinannya terhadap kepemimpinan Kawan Ary Oskandar.
“Kami percaya Kawan Ary punya integritas dan daya juang yang tinggi untuk memperkuat Gema Bangsa di Sumatera Utara,” ujarnya.
“Gerakan ini bukan sekadar struktur partai, tapi ekosistem politik baru yang berakar di masyarakat.”
Suasana deklarasi pun terasa seperti pertemuan keluarga besar — hangat, jujur, penuh harapan.Hadir tokoh-tokoh masyarakat, aktivis, dan politisi lokal yang haus akan perubahan. Bagi banyak orang, Gema Bangsa hadir sebagai rumah baru bagi idealisme yang tersingkir dan semangat yang nyaris padam.
Politik yang Bernapas Gotong Royong
Menutup acara, Kawan Ary kembali menegaskan komitmen mereka: politik yang bersih, transparan, dan bisa dipegang kata-katanya.
“Kami tidak mau politik yang hanya indah di baliho tapi hampa di hati rakyat.
Kami ingin membuktikan bahwa politik bisa dijalankan dengan niat baik dan kerja nyata,” tegasnya.
Saat partai lain sibuk menghitung survei dan elektabilitas, Gema Bangsa justru sibuk menanam keyakinan. Langkah mereka mungkin tidak gegap gempita, tapi setiap langkahnya bernilai. Karena mereka tahu, politik sejati bukan soal cepat, tapi soal arah.
Sore itu, di Hotel Emerald, gema itu terdengar jelas. Bukan suara musik, bukan tepuk tangan seremonial — tapi suara hati rakyat yang mulai percaya lagi. Sebuah gema dari utara, yang suatu hari nanti, akan menggetarkan seluruh negeri.



Pingback: Mandela dan Kekuatan untuk Berdiri Sendiri