Lahir dari Rakyat, Untuk Rakyat

Abuse of Power di Era Demokrasi Elektoral

kekuatan politik bukan di tangan mereka yang berkuasa, tetapi di hati rakyat yang berani bersuara. di sanalah gema bangsa menemukan maknanya

Janji dan Godaan Kekuasaan

Kekuasaan selalu datang dengan janji: menata, memperbaiki, dan melindungi. Namun, di balik ruang-ruang keputusan yang tampak tenang, kekuasaan menyimpan godaan halus — keinginan untuk bertahan lebih lama, menundukkan yang berbeda, atau menafsirkan hukum demi kepentingan sendiri.

Kini, wajah kekuasaan tidak lagi keras seperti di masa otoritarianisme. Ia hadir dengan senyum, jargon demokrasi, dan mekanisme elektoral yang tampak sah di permukaan. Tetapi di balik itu, manipulasi tetap berjalan dengan cara yang lebih elegan dan terselubung.


Demokrasi yang Menyuburkan Penyalahgunaan Kekuasaan

Dalam era demokrasi modern, abuse of power tidak selalu muncul lewat kudeta atau dekrit. Ia tumbuh dari kebiasaan-kebiasaan kecil yang diulang tanpa disadari: penyesuaian aturan untuk melanggengkan posisi, pembungkaman suara kritis atas nama stabilitas, atau penggunaan sumber daya negara untuk kepentingan politik.

Semua berlangsung dalam bingkai legalitas — seolah sah, padahal jauh dari nurani keadilan. Demokrasi elektoral yang semestinya menjadi ruang kompetisi ide kini sering berubah menjadi arena transaksi kuasa.


Ketika Hukum Kehilangan Jiwa Moral

Kekuasaan yang disalahgunakan kini menyusup lewat sistem yang tampak demokratis: melalui politik uang, dinasti kekuasaan, dan kooptasi lembaga hukum. Kita menyaksikan bagaimana hukum tak lagi menjadi penjaga moral publik, melainkan alat tawar-menawar dalam gelanggang politik.

Saat hukum kehilangan integritas, rakyat kehilangan kepercayaan. Dan ketika kepercayaan publik memudar, negara kehilangan arah etiknya. Di titik inilah demokrasi berubah menjadi ritual tanpa jiwa — berjalan secara prosedural, tapi kosong secara moral.


Amanah, Bukan Milik Pribadi

Kekuasaan sejatinya bukan hak kepemilikan, melainkan amanah yang harus dipertanggungjawabkan. Ia hanya singgah sementara di tangan manusia, menuntut kebijaksanaan untuk tidak tergoda mempergunakannya bagi diri sendiri.

Ukuran sejati seorang pemimpin bukan terletak pada panjangnya masa jabatan, melainkan pada kemampuannya menahan diri ketika memiliki kuasa penuh. Itulah nilai luhur yang sejalan dengan semangat Gerakan Mandiri Bangsa — menempatkan kekuasaan sebagai alat pengabdian, bukan alat penguasaan.


Kembali ke Jiwa Demokrasi yang Sehat

Refleksi ini membawa kita pada pertanyaan paling mendasar: untuk apa kekuasaan digunakan? Bila jawabannya bukan untuk menegakkan keadilan dan menjaga martabat manusia, maka segala pencapaian hanya akan menjadi catatan kesia-siaan sejarah.

Demokrasi sejati hanya hidup bila ada kejujuran dan keberanian di dalamnya — keberanian untuk berkata cukup, ketika kekuasaan mulai menuntut ketaatan tanpa akal sehat. Di sinilah masa depan politik bangsa ditentukan: oleh mereka yang berani menjadikan kekuasaan sebagai sarana memperkuat rakyat, bukan memperdaya mereka.

Penulis adalah Sekretasi DPW Partai Gema Bangsa Banten

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top
Lahir dari Rakyat, Untuk Rakyat
0

Subtotal