Lahir dari Rakyat, Untuk Rakyat

Kebangkitan Bangsa Dimulai dari Kemandirian Keluarga

Gerakan Mandiri adalah cikal bakal partai politik jamia

Indonesia hari ini hidup dalam kegaduhan sebuah paradoks. Kita mengklaim diri sebagai bangsa besar, namun kebijakan politik kita lumpuh di hadapan praktik Kemandirian Imitasi. Di satu sisi, kekayaan alam kita tak tertandingi; di sisi lain, kita tak punya daya untuk memproduksi teknologi dasar, seperti mobil listrik, tanpa tergantung pada asing. Kita adalah konsumen abadi, terperangkap dalam lingkaran ketergantungan

 

Bagi Ketua Umum Partai Gema Bangsa, kawan Ahmad Rofiq, kondisi ini bukan lagi ironi, melainkan penyakit kronis yang harus segera dihentikan.

“Kita tidak ada satu kemandirian sedikit pun dalam memajukan bangsa ini. Negara yang sekaya ini, tidak mampu mengelola kekayaan. Lari semua ke luar negeri dan hanya menjadi bahan baku,” gugat Rofiq. Baginya, titik ini adalah penanda tegas bahwa bangsa ini sudah ‘cukup enough‘ dengan pola lama.

Anatomi Sentralisme: Pembodohan Politisi Daerah

Mengapa bangsa sebesar ini hanya mampu menjadi penonton atas kemajuannya sendiri? Jawabannya, menurut Gema Bangsa, terletak pada patologi politik bernama sentralisme.

Sentralisme menempatkan Jakarta sebagai pusat segalanya, sementara daerah hanya dianggap sebagai objek yang harus patuh—sebuah posisi yang kawan Rofiq sebut sebagai “kambing kurap” atau “babu orang-orang pusat.”

“Masyarakat hari ini sesungguhnya sudah sangat mual dengan perilaku kebijakan yang serba sentralisme. Itu sama sekali tidak pernah bisa memberikan dampak besar terhadap situasi kedaerahan,” ujarnya.

Lebih berbahaya lagi, sistem sentralistik adalah biang keladi suburnya politik transaksional. Ia dikondisikan oleh elit agar mereka bisa mengendalikan kekuasaan 100% dan melakukan pungutan-pungutan besar. Dengan kata lain, politik uang adalah anak kandung dari sentralisme itu sendiri.

Membalik Piramida: Dari Keluarga ke Bangsa

Perlawanan terhadap sistem yang merusak ini diwujudkan Gema Bangsa melalui gagasan desentralisasi politik, yang didukung oleh filosofi pembangunan radikal: gerakan harus dimulai dari unit terkecil.

Filosofi ini—yang terpatri dalam tiga pilar di logo mereka—secara efektif membalik hierarki kekuasaan yang ada, menuntut gerakan bottom-up:

  1. Kemandirian Keluarga: Pilar paling dasar dan utama. “Kalau mau bicara soal kemajuan bangsa yang gede ini, itu keluarga harus diperkuat dulu. Harus dari yang kecil dulu,” kata Rofiq.
  2. Kemandirian Masyarakat: Pilar kedua, membangun kekuatan kolektif di tingkat lokal.
  3. Kemandirian Bangsa: Tujuan puncak yang hanya akan kokoh jika fondasi keluarga dan masyarakat sudah mandiri.

Inti dari desentralisasi ini adalah memberikan kebebasan seluas-luasnya agar daerah dapat berpikir jernih, melakukan kreativitas politik sesuai kearifan lokal, dan terbebas dari tekanan politik elit. Hal ini diyakini akan melahirkan pemimpin-pemimpin otentik, bukan hasil transaksi politik.

Partai Tanpa Pemilik dan Ultimatum Terakhir

Gema Bangsa memposisikan diri sebagai antitesis total. Mereka mengklaim sebagai “Partai Tanpa Pemilik”—tidak ada cukong, tidak ada owner tunggal. Ini adalah tamparan langsung terhadap cukongisme yang sering dituding membuat partai-partai lain tidak pernah memikirkan kepentingan rakyat.

Maka, ketika diminta merangkum arah perjuangan mereka, Rofiq tidak menawarkan janji manis, melainkan sebuah ultimatum politik yang keras dan mendasar kepada para pemegang kekuasaan:

“Berhenti berbohong terhadap rakyat.”

Pertanyaannya kini: apakah gerakan Kebangkitan Bangsa yang Dimulai dari Kemandirian Keluarga ini—sebuah manifesto untuk merebut kembali otonomi politik dari sentralisme—mampu menggerakkan revolusi struktural yang sesungguhnya di tengah bangsa yang sudah terlalu lelah dengan dusta politik? Rakyat, sebagai pemilik sejati gerakan ini, yang akan memberikan jawaban.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top
Lahir dari Rakyat, Untuk Rakyat
0

Subtotal